Sunday 31 May 2015

DAKWAH NABI MUHAMMAD S.A.W SECARA TERBUKA

 DAKWAH SECARA TERBUKA@ TERANG-TERANGAN

Menurut keterangan Ibnu Hisyam, kemudian secara berturut-turut manusia, wanita, dan lelaki memeluk Islam sehingga berita Islam tersiar di Makkah dan menjadi bahan pembicaraan orang. Allah selalu memerintahkan Rasul-Nya menyampaikan Islam dan mengajak orang kepadanya secara terang-terangan setelah selama tiga tahun Rasulullah saw. melakukan dakwah secara tersembunyi.
Allah kemudian berfirman kepadanya, “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu pedulikan orang musyrik.” (al-Hijr: 94)
“Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” 
(asy-Syu’araa’: 214-215)
“Dan katakanlah, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan.” 
(al-Hijr: 89)
Pada waktu itu pula, Rasulullah saw. segera melaksanakan perintah Allah kemudian menyambut firman Allah, “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu pedulikan orang musyrik.” Dengan pergi ke atas bukit Shafa lalu memanggil, “Wahai bani Fihr, wahai bani ‘Adi.” Sehingga mereka berkumpul dan orang yang tidak bisa hadir mengirimkan orang untuk melihat apa yang terjadi. Nabi saw. berkata, “Bagaimana pendapatmu apabila aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan berkuda musuh yang datang akan menyerangmu, apakah kamu mempercayaiku?” mereka menjawab: “Ya kami belum pernah melihat engkau berdusta.” Kata Nabi saw: “Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.” Abu Lahab kemudian memprotes, “Sungguh celaka kamu sepanjang hari. Hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami.” Selanjutnya turunlah firman Allah: “Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.” (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah saw. lalu turun dan melaksanakan firman Allah, “Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” Dengan mengumpulkan semua keluarga dan kerabatnya lalu berkata kepada mereka, “Wahai Bani Ka’ab bin Lu’ai, selamatkanlah dirimu dari api neraka! wahai Bani Murrah bin Ka’b, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Wahai bani Abdi Syams, selamatkanlah dirimu dari api neraka! wahai bani Abdul Muththalib, selamatkanlah dirimu dari api neraka. wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka. sesungguhny aku tidak akan dapat membela kalian di hadapan Allah selain bahwa kalian mempunyai tali kekeluargaan yang aku sambung dengan hubungannya.” (Muttafaq ‘alaihi, lafal ini bagi Muslim)
Dakwah Nabi saw. secara terang-terangan ini ditentang dan ditolak oleh bangsa Quraisy dengan alasan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan agama yang telah mereka warisi dari nenek moyang mereka dan sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan mereka. pada saat itulah Rasulullah mengingatkan mereka akan perlunya pembebasan fikiran dan akal mereka dari belenggu taklid. Selanjutnya dijelaskan oleh Nabi saw. bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu tidak bisa memberi faedah atau bahaya sama sekali dan bahwa turun-temurunnya nenek moyang mereka dalam menyembah tuhan-tuhan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengikuti mereka secara taklid buta.
Firman Allah: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (al-Baqarah: 170)
Ketika Nabi saw. mencela tuhan-tuhan mereka, membodohkan mimpi mereka, dan mengecam tindakan taklid buta mereka kepada nenek moyang mereka dalam menyembah berhala, mereka menentang dan sepakat untuk memusuhinya kecuali bapa saudaranya, Abu Thalib, yang membelanya.

TENTANGAN DARIPADA ORANG KAFIR QURAISY

1. Sesungguhnya ketika Rasulullah saw. menyampaikan dakwah Islam secara terang-terangan kepada Quraisy dan bangsa Arab pada umumnya, ini mengejutkan mereka dengan sesuatu yang tidak pernah mereka perkirakan sebelumnya, atau asing sama sekali. Ini tampak jelas dalam reaksi Abu Lahab terhadapnya dan kesepakatan tokoh-tokoh Quraisy untuk memusuhi dan menentangnya.
Hal ini kiranya cukup menjadi jawaban telak bagi orang-orang yang berusaha menggambarkan syariat Islam sebagai salah satu dari buah nasionalisme [Arab] dan menganggap Muhammad saw. dengan dakwah yang dilakukannya sebagai cerminan idealisme dan pemikiran Arab pada masa itu.
Pengkaji Sirah Nabawiyah tidak perlu menyusahkan diri untuk menyanggah atau mendiskusikan tuduhan-tuduhan lucu tersebut. Sebenarnya orang yang melontarkan tuduhan-tuduhan tersebut mengetahui kepalsuan dan kenaifannya. Akan tetapi betapapun tuduhan-tuduhan tersebut, dalam pandangan mereka, harus dilontarkan guna menghancurkan Islam dan pengaruhnya tidaklah penting bahwa tuduhan tersebut harus benar. Yang penting, kepentingan dan tujuan mereka memerlukan pengelabuhan seperti itu.

2. Sebenarnya bisa saja Allah tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk memberikan peringatan kepada keluarga dan kerabat dekatnya secara khusus karena sudah cukup dengan keumuman perintah-Nya yang lain, yaitu perintah-Nya: “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Perintah ini sudah mencakup semua anggota keluarga dan kerabatnya. Lalu apa hikmah dikhususkannya perintah untuk memberi peringatan kepada keluarga ini?
Jawabannya: ini merupakan isyarat kepada beberapa tingkatan tanggung jawab yang berkaitan dengan setiap Muslim pada umumnya dan para da’i pada khususnya.
Tingkat tanggung jawab yang paling rendah ialah tanggung jawab seseorang terhadap dirinya. Karena mempertimbangkan penumbuhan tingkat tanggung jawab ini, rentang waktu permulaan wahyu berlangsung sekian lama yakni sampai Muhammad saw. mantap dan menyadari bahwa ia adalah seorang Nabi dan Rasul, bahwa apa yang diturunkan kepadanya adalah wahyu dari Allah yang harus diyakininya dulu dan mempersiapkan dirinya untuk menerima prinsip, sistem, dan hukum yang akan diwahyukan.
Tingkat berikutnya adalah tanggung jawab seorang muslim terhadap keluarga dan kerabat dekatnya. Sebagai pengarahan kepada pelaksanaan tanggung jawab ini, Allah secara khusus memerintahkan Nabi-Nya agar memberi peringatakan kepada keluarga dan kerabat dekatnya setelah perintah ber-tabligh secara umum. Tingkat tanggung jawab ini merupakan kewajiban bagi setiap Muslimm yang memiliki keluarga atau kerabat. Tidak ada perbedaan antara dakwah Rasul kepada kaumnya dan dakwah seorang muslim kepada keluarganya. Hanya saja yang pertama berdakwah kepada syariat baru yang diturunkan Allah kepadanya, sedangkan yang kedua berdakwah dengan dakwah Rasul, sebagaimana Nabi atau Rasul tidak boleh untuk tidak menyampaikan dakwah kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Ia bahkan wajib “memaksa” keluarganya untuk melaksanakannya. Demikian pula halny seorang muslim terhadap keluarga dan kerabat dekatnya.
Tingkat ketiga adalah tanggung jawab seorang ‘alim [berilmu] terhadap kampung atau negerinya dan tanggung jawab seorang penguasa terhadap negeri dan kaumnya. Masing-masing dari keduanya menggantikan tanggung jawab Rasulullah saw. secara syar’i, sebagaimana beliau bersabada: “Ulama adalah perwaris para Nabi.” Selain itu, imam dan penguasa juga disebut khalifah [pengganti], yaitu pengganti Rasulullah.
Akan tetapi, imam dan penguasa, dalam masyarakat Islam, diharuskan memiliki ilmu. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara tabiat tanggung jawab yang diemban oleh Rasulullah saw. dan tanggung jawab yang diembankan para ulama dan penguasa. Bedanya, Rasulullah saw. menyampaikan syariat baru yang diwahyukan Allah kepadanya, sedangkan mereka mengikuti jejak Rasulullah saw. dan berpegang teguh pada sunah dan sirahnya dan dalam apa yang mereka lakukan dan sampaikan.
Jadi sebagai seorang mukallaf, Nabi saw. bertanggung jawab terhadap dirinya. Sebagai pemilik keluarga dan kerabat, Nabi saw. bertanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya. Sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah, beliau bertanggung jawab terhadap semua manusia.
3. Rasulullah saw. mencela kaumnya karena mereka menjadi “tawanan” tradisi nenek moyang mereka tanpa berpikir lagi tentang baik buruknya. Rasulullah saw. kemudian mengajak mereka untuk membebaskan akal dari belenggu taklid buta dan fanatisme terhadap tradisi yang tidak bertumpu di atas landasan pemikiran dan logika sehat.
Hal ini menjadi dalil bahwa agama ini –termasuk masalah keyakinan dan hukum- bertumpu di atas akal dan logika. Oleh karena itu, di antara syarat terpenting kebenaran iman kepada Allah dan masalah-masalah keyakinan yang lain ialah bahwa kimanan tersebut harus didasarkan kepada asas keyakinan dan pemikiran yang bebas, tanpa dipengaruhi oleh kebiasaan atau tradisi sama sekali sehingga pengarang kita Jauharatut Tauhid mengatakan: “Seseorang yang bertaklid dalam masalah tauhid, keimanannnya tidak terbebas dari keraguan.”
Dari sini kita dapat ketahui bahwa Islam datang untuk memerangi tradisi dan melarang masuk ke dalam jeratnya. Hal ini karena semua prinsip dan hukum Islam didasarkan pada akal dan logika yang sehat, sedangkan tradisi didasarkan pada dorongan ingin mengikuti semata tanpa ada unsur seleksi dan pemikiran. Kata tradisi dalam bahasa Arab berarti sejumlah kebiasaan yang diwarisi secara turun-temurun atau berlangsung karena faktor pergaulan dalam suatu lingkungan atau negeri, dimana taklid semata merupakan penopang utama bagi kehidupan dan kesinambungan tradisi tersebut.
Semua pola kehidupan yang dibiasakan manusia, seperti beberapa permainan pada saat-saat kegembiraan atau berpakaian hitam pada saat kesusahan dan kematian, yang bertahan secara turun-temurun karena faktor perwarisan atau transformasi melalui pergaulan, dalam istilah bahasa dan ilmu sosial disebut “tadisi”.
Dengan demikian Islam sama sekali tidak mengandung unsur tradisi, baik yang berkaitan dengan aqidah, hukum, maupun sistem, karena aqidah didasarkan pada landasan akal dan logika. Demikian pula hukum, ia didasarkan pada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Kemaslahatan ini tidak dapat diketahui kecuali melalui pemikiran dan perenungan kendatipun oleh sebagian akal manusia tidak dapat diketahui karena sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian, jelaslah kesalahan orang-orang yang mengistilahkan peribadatan, hukum-hukum syariat, dan akhlak Islam dengan tradisi Islam.
Bila demikian halnya, peristilahan yang dhalim itu akan memberikan konotasi bahwa akhlak dan perilaku Islam tersebut bukan karena statusnya sebagai prinsip ilahi yang menjadi faktor kebahagiaan manusia, melainkan sebagai tradisi lama yang diwarisi secara turun-temurun. Tentu saja, istilah ini pada gilirannya akan menimbulkan rasa enggan pada kebanyakan orang untuk menerima warisan lain yang ingin ditetapkan kepada masyarakat yang serba berkembang dan maju ini.
Sesungguhnya, penyebutan hukum-hukum Islam dengan istilah “tradisi Islam” bukan merupakan kesalahan yang tidak disengaja, melainkan merupakan mata rantai penghancuran Islam dengan istilah-istilah yang menyesatkan.
Tujuan utama dari pemasaran istilah “tradisi Islam” ini adalah agar semua sistem dan hukum Islam dipahami sebagai tradisi sehingga makna tradisi ini terkait dengan sistem-sistem dan hukum Islam selama masa sekian lama dalam benak manusia, dan mereka lupa bahwa sistem-sistem tersebut pada akhirnya merupakan prinsip-prinsip dan didasarkan pada tuntutan akal sehat, menjadi gampanglah bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam melalui “pintu” yang telah dipersiapkan tersebut.
Tidak diragukan lagi, jika kaum Muslimin telah menyadari semua prinsip dan hukum Islam, seperti masalah pernikahan dan tlalaq, jilbab wanita, serta semua perilaku dan akhlak Islam sebagai “tradisi”, wajar saja jika kemudian muncul orang yang mengajak pada penghancuran “tradisi” dan pembebasan diri dari ikatanya, terutama pada abad dimana kebebasan berpendapat dan berfikir sangat dominan.
Sesungguhnya tidak ada tradisi dalam Islam. Islam adalah agama yang datang untuk membebaskan akal manusia dari segala ikatan tradisi, sebagaimana kita lihat pada langkah-langkah awal dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Sesungguhnya semua sistem dan perundang-undangan yang dibawa oleh Islam merupakan prinsip. Prinsip adalah sesuatu yang tegas di atas landasan pemikiran dan akal, dan bertujuan mencapai tujuan tertentu. Jika prinsip manusia kadang –bahkan relatif sering- menyalahi kebenaran karena kelemahan pemikirannya, prinsip Islam tidak pernah sama sekali menyalahi kebenaran karena yang mensyariatkannya adalah Pencipta akal dan pemikiran [Allah swt]. ini saja sudah cukup menjadi dalil ‘aqli untuk nenerima dan meyakini kebenaran prinsip-prinsip Islam.
Tradisi hanya merupakan arus perilaku yang manusia terbawa olehnya secara sepontan karena semata-mata faktor peniruan dan taklid yang ada padanya.
Prinsip adalah garis yang harus mengatur perkembangan zaman, bukan sebaliknya. Sementara itu, tradisi adalah sejumlah “benalu” yang tumbuh secara spontan di tengah ladang pemikiran yang ada pada masyarakat. Tradisi adalah hasyisy [candu] berbahaya yang harus dipunahkan dan dijauhkan dari pemikiran sehat.

No comments:

Post a Comment